Politik Identitas di Indonesia: Pergulatan Antara Pluralisme dan Intoleransi


Politik identitas di Indonesia telah menjadi topik yang hangat dibicarakan belakangan ini. Pergulatan antara pluralisme dan intoleransi semakin terasa di tengah masyarakat. Hal ini menimbulkan perdebatan yang panjang dan kompleks tentang bagaimana seharusnya negara mengelola keragaman budaya, agama, dan etnis yang ada di Indonesia.

Menurut Prof. Dr. Azyumardi Azra, politik identitas merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Beliau menyatakan bahwa, “Politik identitas adalah upaya kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk mempertahankan jati diri dan keberadaannya, namun jika tidak diatur dengan baik bisa menimbulkan konflik yang merugikan semua pihak.”

Di satu sisi, pluralisme di Indonesia diakui sebagai salah satu kekayaan yang harus dijaga. Namun di sisi lain, intoleransi juga semakin merajalela dalam bentuk aksi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa, “Intoleransi adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang harus diberantas demi terciptanya masyarakat yang adil dan beradab.”

Pergulatan antara pluralisme dan intoleransi ini juga tercermin dalam berbagai kebijakan pemerintah. Misalnya, kasus penolakan gereja-gereja di beberapa daerah atau larangan pemakaian simbol-simbol agama tertentu di ruang publik. Hal ini menunjukkan bahwa negara masih belum mampu memberikan perlindungan yang cukup bagi semua warganya tanpa membedakan suku, agama, dan ras.

Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk mengatasi konflik politik identitas ini. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga menegaskan pentingnya dialog antar kelompok untuk menciptakan kedamaian. Beliau menyatakan bahwa, “Kita harus belajar untuk saling menghormati perbedaan dan bekerja sama demi kepentingan bersama.”

Dengan demikian, politik identitas di Indonesia tidak boleh dijadikan alat untuk memecah belah masyarakat, namun seharusnya menjadi sarana untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan menjaga keseimbangan antara pluralisme dan intoleransi, Indonesia dapat terus berkembang sebagai negara yang damai, adil, dan sejahtera untuk semua warganya.